Monday 25 May 2015

Tidore Te Amo (Part #04) - The Man Who Can't Be Moved

source pic here

Rumah dinas Puskesmas Soasio malam itu terasa lenggang. Ada aku yang sedang sibuk memencet remote tv di kamar sambil memikirkan kejadian siang harinya tepat ketika kakiku memasuki rumah tersebut. Aku langsung disambut senyum manis Hasda yang langsung menyuruhku meletakkan tas punggungku di kamar cewek. Belum lagi sampai di kamar aku lagi-lagi disambut Teguh dengan memperkenalkan tiga orang dokter PTT dari kabupaten yang berbeda di Maluku Utara.

Balik ke malam itu, buatku, ketemu remote tv itu kayak ketemu dengan selebritis. Di rumah dinasku nggak ada televisi tersedia dan aku pun malas untuk membelinya. Bagiku menonton berita bisa lewat timeline twitter. Selalu saja ada orang yang me-retweet berita-berita sepanjang hari. Jadi sekali ketemu remote langsung dah dipencet sana-sini tanpa peduli acara apa yang sedang berlangsung.

Di kamar satu lagi, tempatnya para cowok, ada Defid, PTT dari HalTeng yang tiduran sambil menelpon ceweknya di Jakarta. Tidak ada sinyal telepon selular di tempat tugasnya, sehingga sekalinya ketemu sinyal langsung deh dia sibuk menghubungi cewek sekaligus calon istrinya itu. Di teras belakang yang cuma seiprit ada Selvi, pemilik rumah dinas yang kudatangi ini dan dia lagi sibuk menerima telepon dari cowoknya. Barangkali si cowok curiga, kenapa ada banyak suara cowok di rumah Selvi yang biasanya sepi. Hihihi...


Di ruang tengah merangkap ruang makan ada Teguh PTT dari Tidore, serta Ade dan Tono, PTT dari HalBar yang heboh bermain PS. Sesekali mereka berteriak kalau salah satu diantara mereka ada yang berhasil membobol gawang lawan di permainan Winning Eleven. Tapi suara teriakan mereka hanya sayup-sayup terdengar di kamarku. Di ruang tamu ada Hasda, PTT dari Tidore. Cewek mungil itu sibuk browsing, surfing dan facebook-an di laptopnya. Dan Iwan, laboran Puskesmas Soasio menguasai teras depan sambil bermain gitar.

Meski suara takbir terdengar dari kejauhan tapi Idul Adha kali ini terasa sangat berbeda. Karena kita semua yang ada disini punya satu kesamaan. Para perantau yang tak bisa pulang merayakan Idul Adha. Kesamaan itu juga yang ngebuat kita, aku khususnya, tidak merasakan kehilangan momen Idul Adha karena aku tahu semua pasti rindu rumah. Tidak ada juga satu orang pun dari kita yang berniat membuat hidangan lebaran. Masuk diakal sih. Tidak mudah menyatukan selera kita semua yang berasal dari banyak suku di Indonesia. Aku Mandailing, Selvi Batak. Teguh, Ade dan Tono suku Jawa. Sementara Hasda Bugis, Defid Sunda dan Iwan orang Tidore yang tumbuh besar di Papua.

Yang pasti pada malam itu Iwan, Teguh dan Selvi malah sibuk berdiskusi tentang rumah siapa yang bersedia didatangi untuk menikmati hidangan lebaran mulai dari pagi, siang hingga malam. Tidak akan ada warung nasi yang buka pada hari Idul Adha dan kami semua pun terancam kelaparan esok hari. Sebenarnya ada banyak rumah yang bisa saja jadi sasaran untuk didatangi tapi itu kalau jumlah kita hanya 2-3 orang. Lah ini hingga 8 orang, sudah termasuk rombongan besar.

Mendadak malam itu kita semua galau memikirkan nasib perut sepanjang hari esok. Satu-satunya pilihan adalah menyebrang ke Ternate dan makan pagi, siang, hingga malam di Jatiland Mall. Tapi memang Allah itu baik banget. Lagi menggalau gitu, tiba-tiba Teguh dihubungi oleh teman kita sesama PTT yang sudah berkeluarga. Namanya Nalar. Nalar memutuskan untuk membawa hidangan Idul Adha yang telah dipersiapkannya ke rumah dinas Selvi. Dia tahu ada banyak mulut yang butuh makan tapi tak tahu mau makan dimana.

Malam takbiran itu kita tutup dengan penampilan Defid di kafe lokal di pinggir pantai dengan live music yang cukup hebat untuk ukuran kota kecil seperti Tidore. Dari sekian banyak lagu yang Defid nyanyikan, yang masih membekas dalam ingatanku hanya Noah - Separuh Aku, dan The Scripts - The Man Who Can't Be Moved.

Ketika hari telah berganti, tepatnya jam 02.00 kita semua beranjak pulang. Apalagi kalau bukan karena kafe itu sudah harus tutup. Ditemani angin laut yang sepoi-sepoi, di jalanan yang sepi aku menengadah ke langit melihat taburan bintang sambil dalam hati berkata :

"Malam Idul Adha ini beda banget dari biasanya. Tapi aku nggak ngeluh dengan perbedaan itu. Aku malah senang dengan keberanianku untuk datang ke rumah dinas Selvi. Aku ketemu keluarga baru disini. Keluarga sesama perantau."



Mengenang Idul Adha di Pulau Tidore, 26102012



.:: you may say I'm dreamer, but I'm not the only one ::.

No comments:

Post a Comment