Wednesday 6 May 2015

Tidore Te Amo (Part #02) - Dialog Sepi Dalam Keriuhan

source picture here

Merantau itu gampang. Siapkan saja bekal perjalanan dan hiduplah di suatu tempat selama sekian waktu. Tapi sebelumnya jangan lupa untuk pamit. Karena yang membedakan seorang perantau dengan pelarian adalah pamit. Perantau melakukannya.

Jadi apa sulitnya merantau?

"Tak bisa pulang saat rindu sudah diubun-ubun khususnya ketika momen hari raya tiba." 

Itu kata hati saya sewaktu berjalan pelan di dermaga beton pelabuhan Sofifi. Menuju ke kapal roro yang bersandar menanti penumpang. Jam dua siang kapal roro yang bernama "KM Bandeng" ini berangkat. Masyarakat lokal biasa menyebut kapal roro, sejenis kapal yang bisa memuat kendaraan dilambung kapal, dengan sebutan "feri". Siang ini feri Bandeng sesak dengan manusia segala usia di dek penumpang dan kendaraan roda dua dan empat di dek bawah. Tujuannya cuma satu. Pulang merayakan Idul Adha di pulau Tidore bersama keluarga.

Kecuali saya.


Laju feri siang ini agak kencang. Mungkin kapten dan para anak buahnya ingin kapal cepat bersandar di Tidore untuk kembali mengisi muatan dan balik ke Sofifi lantas kembali ke Ternate dengan lambung kapal yang juga penuh dengan muatan. Saya duduk di kelas ekonomi bersama beberapa orang teman sekerja dan puluhan orang lainnya. Feri ini menawarkan dua macam kelas bagi para penumpang. Kelas ekonomi dan VIP yang hanya dibedakan beberapa ribu rupiah saja yang kelebihan biaya itu ditarik diatas feri bukan di loket.

Kelas VIP menawarkan kenyamanan berupa ruang berAC dan tempat duduk empuk yang bisa diatur sandarannya sesuka hati. Saya lebih suka duduk dikelas ekonomi dengan bangkunya yang keras tanpa lapisan busa. Membiarkan angin laut lalu lalang mempermainkan jilbab saya  sambil memperhatikan susana sekitar. Gelak tawa, tangis bocah, suara percakapan yang timbul tenggelam, aroma kuah bakso yang sesekali tercium, suatu perpaduan sempurna siang ini. Pulau Filonga, pulau kecil tak berpenghuni di dekat pulau Tidore sudah kelihatan. Simbol tak resmi jika Pulau Tidore sudah semakin dekat.

Pantai terlihat menampilkan pasir putih dengan pohon kelapa yang sesekali bergoyang tertiup angin. ABK standby di posisi masing-masing. "Peluit" khas kapal dibunyikan. Kapal merapat di pelabuhan Dowora. Perjalanan selama satu setengah jam pun usai. Manusia dan kendaraan silih berganti keluar dari lambung kapal. Saling bergantian memberi kesempatan satu sama lain. 

Di darat suasana semakin ramai. Penumpang tujuan Sofifi sudah gelisah ingin cepat-cepat naik ke atas feri. Para tukang ojek, supir bentor (becak motor), dan supir angkot bersaing menawarkan jasa. Beberapa dari mereka tampak santai menunggu diluar pintu keluar pelabuhan. Yakin jika mereka juga akan mendapatkan penumpang meski tak masuk kedalam pelabuhan. Sedikit sentakan rasa iri saya rasakan ketika memandangi para penjemput yang menunggu keluarga mereka. Bercengkrama. Berbagi cerita. Menyusun rencana.

Teman-teman seperjalanan saya sudah menghilang. Masing-masing sibuk memilih angkutan atau menunggu dijemput keluarga. Kaki saya tidak mantap saat melangkah menuju pintu keluar pelabuhan. Seorang nyong (pemuda) tersenyum ramah menawarkan jasanya. Bahkan diatas bentor pun kaki ini masih terasa lemah. Sementara keringat dingin mulai menuruni punggung. Detak jantung pun semakin cepat. Tak sebanding dengan laju bentor. Ini pertama kalinya saya merayakan Idul Adha bersama orang-orang yang belum saya kenal. Dengan tipe introvert sulit bagi saya untuk bertemu orang-orang baru dan menjalin pertemanan. 

Bentor berhenti di depan rumah dinas Puskesmas Soasio. Pintunya terbuka seolah memang menunggu kedatangan saya. Tak mungkin saya meminta bentor untuk berbalik arah dan kembali ke Pelabuhan Dowora. Mau tidak mau saya harus turun dan masuk ke rumah dinas. Disinilah saya akan melewatkan Idul Adha tahun ini.


I can be surrounded by a sea of people
and still feel all alone...
Then I think of you..

(Austin Ames - A Cinderella Story)




Mengenang Idul Adha di Pulau Tidore, 26102012

No comments:

Post a Comment