Friday 8 May 2015

Tidore Te Amo (Part #03) - Lebih Dari Sekedar Uang

source picture here

Merantau ke Maluku Utara sampai sekarang masih saja menimbulkan perasaan galau pada saya. Bukan galau ala ABeGeh. Namun galau karena mempertanyakan kembali bijaksanakah keputusan yang saya ambil dengan merantau sejauh ini ke Maluku Utara. Ada banyak suara sumbang yang menyayangkan keputusan saya ini. Ya... mereka yang memandang kepergian itu sebagai sebuah bentuk kebodohan karena jauhnya jarak tak lantas membuat pundi-pundi uang saya bertambah. Enam bulan saya di Maluku Utara, akhirnya saya mengerti. Bahwa ada banyak hal yang jauh lebih penting dari pada sekedar uang.

Saya mengerti arti sesungguhnya dari Homesick, yang tak hanya berarti rindu rumah, rindu kampung halaman. Mengerti bahwa homesick itu adalah bagaimana tetap merindukan rumah yang nun jauh disana namun pada saat bersamaan membuat rumah yang sekarang menjadi rumah yang sebenarnya, sehingga saat nanti harus pergi dari rumah yang baru, kita pun merindukannya sebesar kita merindukan kampung halaman sesungguhnya.


Saya mengerti akan arti keberagaman yang dimiliki negeri ini. Tak melulu soal keragaman budaya ataupun tempat-tempat wisata. Namun keberagaman yang paling mendasar. Pola dan perilaku hidup. Saya mulai terbiasa dengan kalimat-kalimat yang biasa mereka pakai. Berusaha mencari padanan kata yang biasa saya pakai di Indonesia Barat namun disini mereka tak mengerti. Satu contoh, saya cukup terbiasa menggunakan kata "pipet" untuk segala sesuatu yang dipakai untuk menyedot minuman di dalam gelas. Namun disini saya harus terbiasa dengan  kata "sedotan" karena mereka tak mengenal kata "pipet". Hal lainnya, saya terbiasa dengan makanannya. Saya sudah terbiasa (bahkan mungkin bakal seterusnya) mengudap pisang goreng dengan sambal. Iya, sambal yang pakai cabe itu, hal yang pastinya akan sulit saya temukan di wilayah Indonesia Barat.

Saya mengerti akan perasaan para perantau yang merindukan kampung halamannya. Yang tak bisa pulang ke kampung halaman, entah itu karena tak punya cukup uang atau tak punya cukup waktu. Disini, saya cukup merasakan bagaimana perasaan girang setengah mati ketika saya tahu ada orang atau warga yang sama-sama berasal dari Sumatera Utara. Saya pun menjadi bagian dari orang-orang Sumatera. Suatu sebutan tidak resmi kepada para perantau yang berasal dari pulau Sumatera, tak peduli apakah ia dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, atau Aceh. Dan saya pun merasakan bagaimana persaudaraan itu tidak sengaja terjalin kuat hanya karena sesama perantau dari Sumatera. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh orang-orang Indonesia di luar negeri. Satu Indonesia walaupun berbeda pulau. Sebagaimana kami satu Sumatera walau berbeda provinsi.

Yang paling saya mengerti adalah konsep jauh. Ternyata jauh bukan bicara tentang jarak yang terbentang ribuan kilometer, terpisahkan oleh perbedaan jam. Jauh juga berarti  bagaimana kita menjelaskan kondisi pulau seberang kepada orang-orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di pulau itu. Saat gunung Gamalama meletus, ada banyak pertanyaan kepada saya, bagaimana kondisi saya. Apakah saya ikut mengungsi. Apakah saya terkena debu vulkanik. Semua tanya itu dari saudara dan kerabat di Medan. Saya berulang menjelaskan jika Gunung Gamalama itu berada di pulau Ternate sementara saya berada di pulau Halmahera, yang meskipun tidak terlalu jauh namun letusannya tidak berefek pada pulau Halmahera.

Sama juga ketika saya digempur pertanyaan akan kondisi keluarga di Medan pasca gempa yang mengguncang Aceh yang dirasakan hingga ke Medan. Saya berulang kali menjelaskan kepada teman-teman disini jika pusat gempa di Aceh letaknya cukup jauh dari Medan. Sehingga Medan hanya merasakan efek guncangan saya, tidak sampai merasakan tsunami kecil yang kabarnya melanda Aceh. Ya... semua hanya mendengar di televisi atau membaca di majalah, namun tak paham jarak antara Ternate - Halmahera atau Simeulue - Medan. Mereka yang disini benar-benar tak bisa membayangkan jarak Simelue - Medan, dan yang disana juga tak bisa membayangkan jarak Ternate - Halmahera. 

Jarak begitu tak berarti bagi saya. Saya merasa begitu dekat dengan Medan. Toh hanya naik pesawat sekian jam. Tapi bagi yang lain, satu titik di hampir di ujung Indonesia Barat dan titik yang lain hampir di ujung Indonesia Timur terasa begitu jauh. Berapa pulau yang terlewati, berapa ratus kota kabupaten dan provinsi tersebrangi untuk tiba di satu titik.

Sungguh, saya baru sadar ternyata perjalanan saya begitu jauh. Begitu jauhnya saya pergi dari rumah... *tepok jidat*

Akhirnya saya tahu bagaimana rasanya membuat planning yang matang sehubungan dengan rencana pulang kampung. Merasakan sensasi berburu tiket murah. Mencari-cari celah yang kosong agar bisa pulang ke kampung. Mencocokkan antara tanggal pulang dengan harga tiket paling murah, yang ternyata itu sulit, jendral! Merencanakan segala hal yang akan dilakukan bila tiba di kampung. Menghitung waktu akan tanggal kepulangan. Mencari buah tangan buat sanak kerabat di kampung. Mengira-ngira akan seperti apakah wajah kampung halaman sekarang.

Saya tahu semua rasa itu disini. Di tanah perantauan.

Pengalaman hidup... itu yang sedang saya kumpulkan sekarang. Pengalaman yang takkan saya dapatkan di tempat yang lain. Karena bukankah pepatah pernah berkata "Lain Padang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya." Lain Tempat Lain Pengalamannya. Maka sungguh tak pernah ada kerugian akan setiap jejak yang saya torehkan di bumi seribu senyum ini. Hanya ada keuntungan yang saya dapatkan, meski bentuknya tak selalu materi.



Repost dari postingan tanggal 30/04/2012

1 comment:

  1. Merantau memang lebih drai sekedar uang mak :D

    Berkaca-kaca baca postingannya :)

    ReplyDelete