Monday 4 May 2015

Tidore Te Amo (Part #01) - Ied Fitri di Rantau

pic taken from here
"Dengar Takbir dari balik tembok rumah dinas itu menentramkan sekaligus menyedihkan. Selamat Idul Firi ayah-ibu... #baladaPTT" @dokterPTT (dengan sedikit pengeditan yang tidak mengubah isi tweet)

Idul Fitri 1433 H / 2012 M adalah Idul Fitri pertama yang saya lalui tanpa ayah, ibu, dan adik. Sejak takbir berkumandang dari speaker DVD player yang diputar pedagang DVD/VCD bajakan diseberang rumah saya, saya baru menyadari mengapa selama ini orang rela berdesak-desak bahkan tak jarang bolos duluan dari kantor demi bisa berlebaran di kampung halaman.

Sebelum Ramadhan datang dan selama Ramadhan datang saya selalu meyakini bahwa yang penting dari Idul Fitri itu adalah momen saling memaafkan, bukan momen saling berkumpulnya. Tapi saat 2 - 3 hari hari jelang lebaran dimana suara takbir mulai kedengaran dimana-mana, keyakinan saya mulai goyah. Dan tepat tadi malam saat suara takbir berkumandang dari televisi, sudah dapat diduga saya menangis. Ingat pada kesibukan di rumah setiap malam takbiran.


Waktu Magrib telah usai, namun saya tak mendengar sedikit pun suara takbir dari mushalla yang letaknya di belakang rumah.  Ketika shalat Isya pun kelar, takbir pun masih tak terdengar. Mungkin masyarakat masih menunggu pengumuman sidang Isbat yang belum bersangsung. Ketika masyarakat di Indonesia Barat baru saja selesai berbuka puasa dan bersiap-siap mendengarkan hasil sidang Isbat, masyarakat Indonesia Timur (khsusnya para ibu rumah tangga) mulai galau, tanggal berapa tepatnya 1 Syawal, apakah besok atau lusa.

Betapa tidak ketika sidang Isbat baru akan dimulai sekitar jam 7 malam, maka jarum jam sudah menunjukkan angka 9 di Indonesia Timur. Mungkin ada baiknya jika pemerintah melaksanakan sidang Isbat beberapa jam lebih cepat atau jika hal itu tidak memungkinkan setidaknya sidang tersebut tidak perlu berlangsung terlalu lama, tidak perlu pembukaan dan kata sambutan yang bertele-tele, tidak perlu adu argumentasi. Menurut penuturan teman-teman saya yang ada disini, lebaran beberapa tahun lalu, saat keputusan sidang Isbat baru selesai dan diumumkan pukul 22.00 WIB maka di Indonesia Timur hari telah berganti. Beberapa ibu-ibu yang sempat memasak hidangan khas dan spesial lebaran terpaksa harus gigit jari memikirkan mau diletakkan dimana masakan yang sudah dimasak karena tak semua orang memiliki lemari es (dan yang paling penting tak semua daerah mendapatkan pasokan listrik 24 jam dari negara).

Jam 23.00 WIT saya baru mulai mendengar suara takbiran dari pawai kendaraan roda 2 dan 4. Namun namanya saja pawai, lebih nyaring suara klakson terdengar daripada suara takbir. Tapi tak apalah, dari pada tak ada sama sekali. Pawai itu hanya berlangsung sekejap, dan suara takbir pun tenggelam dalam suara kembang api dan petasan yang dibakar warga. Pawai itu entah selesai jam berapa. Yang pasti, pawai itu menyisakan ketukan pintu rumah dinas saya pada pukul 03.00 WIT oleh bapak-bapak dari kepolisian. Memberitahu jika di IGD sudah menunggu pasien kecelakaan akibat mabuk dan beberapa orang luka-luka ringan akibat saling pukul di malam lebaran ini.

Bicara tentang petasan, bagi saya petasan itu amat sangat menyebalkan. Tak ada hiburan di dalamnya kecuali membuat kaget orang lain. Petasan yang lebih tepatnya disebut bom dengan daya ledak rendah. Heran, mengapa pihak kepolisian tak melakukan razia petasan yang amat sangat mengganggu itu. Saya pun memilih untuk beranjak tidur sambil membawa rasa kecewa akan sedikitnya suara takbir yang saya dengar. Tak seperti saat saya di kampung halaman, takbir terus berkumandang hingga larut malam dari kaset yang diputar di mesjid atau mushalla.

Pagi 1 Syawal 1433 H, saat bersiap-siap melaksanakan shalat Idul Fitri, lagi-lagi saya tak mendengarkan suara takbir. Saya malah mendengar lagu-lagu keagamaan yang diputar tetangga sebelah rumah yang berbeda keyakinan dengan saya. Suasana Idul Fitri benar-benar tak begitu terasa di sini.

Sendiri di rumah dinas dengan tidak mengenakan baju baru sambil sesekali memantau timeline berusaha mengambil sedikit keriuhan lebaran agar tak begitu terasa sepinya di rumah dinas ini. Ada sepiring nasi uduk dengan sambal telur puyuh sebagai hidangan lebaran saya kali ini. Merayakan momen besar ini dalam kesendirian yang tidak akan pernah saya sesali. Ini adalah resiko yang siap saya ambil ketika melaksanakan tugas ini. Resiko yang menurut seorang teman, telah diambil sejak memilih jurusan ini sewaktu jaman kuliah dulu. Resiko yang dipilih secara sadar dan tanpa pengetahuan yang mendalam.

Dari balik tembok rumah dinas,
1 Syawal 1433 H


No comments:

Post a Comment